Contoh Penemuan Hukum Melalui Penafsiran Hukum Secara Otentik
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebutkan Pasal 351 Ayat (1) bahwa, “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Selanjutnya Pasal 351 Ayat (2) menyebutkan bahwa, “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 351 Ayat (2) tersebut hanya disebutkan luka-luka berat, tetapi tidak secara langsung disebutkan jenis luka yang lebih jelasnya. Jadi, dalam hal ini masih sumir jenis luka yang lebih jelasnya itu. Ketidakpastian hal tersebut bisa berdampak pada penerapan Pasal 351 tersebut oleh penegak hukum, sehingga Pasal 351 ini tidak bisa dilaksanakan dilapangan pada prakteknya karena ketidakpastian tentang kejahatan penganiayaan tersebut dianggap menimbulkan luka ringan atau luka berat.
Disebutkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dengan dasar hukum tersebut, maka dapat menggunakan metode penafsiran atau metode penemuan hukum yang ada.
Isu hukum dalam hal ini adalah bagaimana jenis luka-luka berat yang dimaksud dalam Pasal 351 Ayat (2) KUHP tersebut.
Selengkapnya klik di sini.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home