Thursday, September 27, 2018

Candi Jiwa dan Rumah Sejarah Rengasdengklok Karawang


Pada hari Selasa (11/09/2018) saya berkunjung ke salah satu candi yang berada di Jawa Barat, tepatnya bernama Candi Jiwa yang berlokasi di Desa Segaran Kec. Batujaya Kab. Karawang. Lokasi Candi dikelilingi oleh pesawahan, yang membuat pengunjung dibuat sedikit adem oleh angin, di tengah cuaca panas Karawang yang mencapai 32 derajat celcius.

Candi tersebut dibuat pada zaman Kerajaan Tarumanegara. Candi yang bercorak Budha tersebut dibuat dari bata merah, tidak seperti kebanyakan candi lain yang dibuat dari batu. Keadaan candi yang sudah dipugar tersebut hanya menampakkan bagian kaki candi saja. Masih ada beberapa situs yang belum dipugar.

Pengunjung cukup merogoh uang sebesar Rp. 5 ribu rupiah untuk memasuki area tersebut, ditambah uang parkir. 

_______________________________________________
Sebelum berkunjung ke Candi Jiwa, menyempatkan diri ke Rumah Sejarah di Rengasdengklok. Tempat dimana Sang Dwi Tunggal, Bung Karno dan Bung Hatta diculik oleh para pemuda yang menyarankan untuk segera melaksanakan pernyataan kemerdekaan atau proklamasi. Bung Karno dan Bung Hatta beristirahat di sebuah rumah milik warga yang bernama Djiauw Kie Siong.
Alhamdulillah saya bisa berfoto dan ngobrol dengan cucu dari Djiauw Kie Siong, pemilik dan yang merawat Rumah Sejarah saat ini. Pengunjung dapat melihat bahwa tokoh publik sudah banyak yang berdatangan, dibuktikan dengan foto-foto yang disimpan dalam sebuah lemari. Presiden Jokowi, Prabowo, Ridwan Kamil, Megawati, Puan, Rieke "Oneng", Fadli Zon, dan Tukul Arwana pun pernah datang. Masyarakat dari luar kota pun banyak yang datang dibuktikan dengan adanya data pada buku tamu.

Labels: ,

Wednesday, September 26, 2018

Artikel Skripsi : Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas di Kabupaten Karawang Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan



Imam Budi Santoso, S.H., M.H.
Dr. Holyness N. Singadimedja, S.H., M.H.
Dede Nurdin, S.H.

ABSTRAK

       Aksesibilitas yang masih tersisihkan dari masyarakat menjadi salah satu kendala bagi penyandang disabilitas khususnya di Indonesia. Hal tersebut berdampak pada dunia kerja dan tersedianya kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang seharusnya mengetahui jumlah tenaga kerja penyandang disabilitas dan jumlah perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas, hal tersebut berdasarkan Surat Edaran Menteri No.01.KP.01.15.2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan yang ditujukan kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Berbeda kasus yang terjadi di PT. Mondelez Indonesia, Klari, Kabupaten Karawang, pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja yang mengalami cacat tetap (disabilitas) akibat kecelakaan kerja.

       Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan sehubungan dengan permasalahan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, juga digunakan data primer sebagai pendukung bahan data sekunder. Analisis data dilakukan dengan metode analisis yuridis kualitatif.

       Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas di Kabupaten Karawang belum terlaksana dengan baik, khususnya berkaitan dengan hak memperoleh kesempatan kerja di perusahaan. Tindakan hukum dalam hukum publik dapat dilakukan dengan memberikan sanksi pidana dan sanksi administratif, sedangkan tindakan hukum dalam hukum privat dengan meminta ganti rugi terhadap perusahaan.yang tidak mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) dari jumlah pekerja. Upaya hukum yang dapat dilakukan pekerja atas Pemutusan Hubungan Kerja karena kecelakaan kerja dan menimbulkan cacat tetap (disabilitas) adalah dengan melakukan upaya hukum hukum non litigasi dan litigas  
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Tenaga Kerja, Penyandang Disabilitas

A.      Latar Belakang

       Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, and legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih dalam dan bebas dari rasa ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut rechtsstaat.[1]
       Penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan terutama perlindungan dari berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Keistimewaan dan perlakuan khusus tersebut dipandang sebagai upaya maksimalisasi penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia universal.[2]
        Aksesibilitas yang masih tersisihkan dari masyarakat menjadi salah satu kendala bagi penyandang disabilitas khususnya di Indonesia. Hal tersebut berdampak pada dunia kerja dan tersedianya kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Hak bagi warga negara sebagai pekerja juga diatur dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.  Dalam penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.
      Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, pada Tahun 2016 jumlah penduduk Kabupaten Karawang mencapai 2.295.778 jiwa. Angka ini didapatkan dari hasil proyeksi dan angka tersebut masih sementara. Penduduk laki-laki pada Tahun 2016 berjumlah 1.177.310 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 1.118.468 jiwa, sedangkan jumlah penyandang disabilitas berjumlah 6.237 jiwa.[3]
       Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang, diketahui bahwa jumlah tenaga kerja di Kabupaten Karawang adalah 1.676.779 jiwa.[4] Dinas Tenaga Kerja dan Transimigrasi Kabupaten Karawang tidak mempunyai data khusus jumlah tenaga kerja penyandang disabilitas di Kabupaten Karwang.
       Sebagaimana ditulis oleh Payaman J. Simanjuntak bahwa pengertian tenaga kerja atau manpower adalah mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari kerja dan yang melakukan pekerjaan lain seperti sekolah dan mengurus rumah tangga. Jadi semata-mata dilihat dari batas umur, untuk kepentingan sensus di Indonesia menggunakan batas umur minimum 15 tahun dan batas umur maksimum 55 tahun.[5] Adapun data dari Komisi Pemilihan Umum jumlah penyandang disabilitas yang sudah mempunyai hak pilih di Kabupaten Karawang berdasarkan Data Pemilih Sementara Pilkada Serentak Tahun 2018 adalah 1.772 orang.[6] Data tersebut dapat menjadi acuan jumlah tenaga kerja penyandang disabilitas di Kabupaten Karawang.
      Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Pengembangan Kawasan Industri, Kabupaten Karawang ditetapkan sebagai daerah pengembangan kawasan industri, yang hingga saat ini jumlah industri mencapai 9.979 unit usaha.[7] Berdasarkan keterangan dari pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Karawang, pihaknya tidak mengetahui jumlah pekerja penyandang disabilitas dan jumlah perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas.[8] Hal tersebut berkontradiksi dengan Surat Edaran Menteri No.01.KP.01.15.2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan yang ditujukan kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk melakukan pendataan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat (disabilitas) secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali.
      Menurut Nanang Kosim, Ketua DPC Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Karawang, Pemerintah Kabupaten Karawang terkesan menganaktirikan penyandang keterbatasan fisik di daerahnya. Padahal, mereka ingin disejajarkan dengan warga normal pada umumnya. Disebutkan, setiap tahun kaum difabel di Karawang memang mendapat pelatihan dari Dinas Sosial setempat. Namun hal itu belum cukup, sebab mereka juga membutuhkan lapangan kerja atau permodalan.[9]
       Berbeda kasus yang terjadi di PT. Mondelez Indonesia, Klari, Kabupaten Karawang, pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 98 orang buruh. Dari 98 orang buruh yang dikenai PHK, satu orang diantaranya adalah Jumhadi, buruh yang mengalami cacat permanen. Jumhadi mengalami cacat permanen akibat kecelakaan kerja di PT Mondelez Indonesia. Jari-jari tangan kanannya habis tergilas mesin pencetak kue. Sebagai korban kecelakaan kerja di perusahaan yang memproduksi makanan ringan biskuat ini, ia menyatakan penolakannya terhadap PHK sepihak yang menurutnya sama sekali tidak manusiawi.  Salah satu rekan Jumhadi yang juga dikenai PHK, Teddy Gantika sangat menyayangkan keputusan itu. Menurutnya melakukan PHK terhadap buruh yang mengalami cacat permanen sangatlah tidak manusiawi karena korban akan sulit mendapatkan pekerjaan baru. Buruh menduga salah satu alasan yang melatarbelakangi PHK tersebut adalah perusahaan melakukan pensiun dini terhadap karyawan yang produktivitasnya dinilai rendah, yakni buruh yang berusia lanjut, cacat fisik dan korban kecelakaan kerja. Tidak peduli jika buruh-buruh yang bersangkutan telah berkontribusi bagi kemajuan perusahaan di masa lalu. Hal tersebut menjadi dugaan yang mungkin benar, karena sebelum diadakannya pertemuan membahas PHK, pengusaha sempat menyarankan agar buruh mengambil pensiun dini.[10]
       Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas di Kabupaten Karawang?
2.   Bagaimanakah tindakan hukum terhadap perusahaan yang tidak mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) penyandang disabilitas dari jumlah pekerja dalam satu perusahaan?
3.      Bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan pekerja yang mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena kecelakaan kerja yang menimbulkan disabilitas?

B.       Metode Penelitian

       Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan sehubungan dengan permasalahan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, juga digunakan data primer sebagai pendukung bahan data sekunder. Analisis data dilakukan dengan metode analisis yuridis kualitatif.

C.      Pembahasan

1.      Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas di Kabupaten Karawang

       Hak tenaga kerja penyandang disabilitas untuk bekerja telah diatur secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Undang-Undang yang baru belum mempunyai peraturan pelaksana. Peraturan pelaksana yang lama tersebut masih tetap digunakan berdasarkan ketentuan  Pasal 150 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3670), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
       Perlindungan hukum mengenai kesempatan kerja bagi tenaga kerja penyandang disabilitas juga diakui dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa, “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan”. Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa:
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.
       Peraturan atau regulasi yang lebih rendah terkait dengan pelatihan kerja dan penempatan tenaga kerja penyandang disabilitas, yaitu melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor KEP-205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat, serta Surat Edaran Menteri No.01.KP.01.15.2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan.  Pemerintah Kab. Karawang belum mempunyai peraturan perundang-undangan khusus mengenai tenaga kerja penyandang disabilitas. Pemerintah Kab. Karawang masih menganggap penyandang disabilitas sebagai subjek yang perlu dikasihani secara sosial, bukan memenuhi hak yang setara dengan warga lainnya, terutama masalah hak atas pekerjaan. 
      Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Karawang mempunyai Balai Latihan Kerja (BLK) yang terus melakukan inovasi terhadap apa yang menjadi keperluan perusahaan guna mewujudkan masyarakat yang menginginkan bekerja di pabrik. Balai Latihan Kerja merupakan wadah untuk menampung kegiatan pelatihan. Selain itu untuk memberikan, memperoleh, meningkatkan serta mengembangkan keterampilan, produktivitas, disiplin, sikap kerja, dan etos kerja yang pelaksanaannya lebih mengutamakan praktek daripada teori.
       Masyarakat yang ingin mengikuti pelatihan di Balai Latihan Kerja tidak dipungut biaya (gratis), namun ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu usia minimal 18 tahun, fotokopi KTP dan ijazah, pendidikan minimal SMA sederajat, pendidikan minimal SMP sederajat (khusus kejuruan garmen), pas foto berwarna ukuran 3x4 4 lembar, pendaftaran mulai hari senin sampai jumat dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. Jenis kejuruannya yaitu, teknik manufaktur, teknik listrik, teknik las, teknik otomotif, teknik bisnis dan manajemen, teknik elektronika, teknik garmen apparel, tata kecantikan, teknologi informasi, perikanan, prosesing, dan industri kreatif. Berdasarkan hal tersebut Balai Latihan Kerja dapat menjadi partner terhadap perusahaan dan masyarakat perlu tahu bahwa Balai Latihan Kerja akan membantu untuk penempatan kerja, namun hal tersebut disesuaikan atas kebutuhan perusahaan.
       Selain melalui pelatihan di Balai Latihan Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Karawang juga mempunyai program peningkatan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas, yaitu Program Peningkatan Kesempatan Kerja Kegiatan Pemberdayaan Tenaga Kerja Mandiri Penciptaan Wirausaha Baru Tenaga Kerja Disabilitas di Kab. Karawang. Pelatihan yang sudah dilakukan seperti pelatihan sablon, pelatihan servis handphone, dan lain-lain.[11] Dasar hukum peraturan pelaksana kegiatan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2013 tentang Perluasan Kesempatan Kerja.
       Menurut Nanang Kosim, Ketua DPC Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia Kab. Karawang menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi oleh para penyandang disabilitas adalah kriteria pendidikan minimal SMA sederajat dalam persyaratan pelatihan maupun persyaratan lowongan pekerjaan pada perusahaan, kenyataannya rata-rata pendidikan yang dimiliki para penyandang disabilitas di Kab. Karawang adalah SD sederajat atau SMP sederajat. Seperti diketahui bahwa Sekolah Luar Biasa di Kab. Karawang hanya ada di perkotaan, jadi aksesibilitas terhambat jarak tempuh bagi penyandang disabilitas dari pedesaan.[12] Hak atas pendidikan penyandang disabilitas telah dijamin dalam Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyebutkan bahwa, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengikutsertakan anak penyandang disabilitas dalam program wajib belajar 12 (dua belas) tahun”.
       Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Dinas Sosial Kab. Karawang ikut berperan dalam upaya peningkatan kesempatan kerja mealui Loka Bina Karya berupa pelatihan tata boga, menjahit, cukur rambut dan lain-lain. Selain itu juga Dinas Sosial berperan dalam menginformasikan kepada penyandang disabilitas untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi dari Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Kementerian Sosial Republik Indonesia.[13]
       Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Vokasional untuk penyandang disabilitas fisik di lingkungan Kementerian Sosial Republik Indonesia yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial. Seiring dengan perkembangannya, BBRVBD mempunyai tujuan akhir menjadikan penyandang disabilitas fisik sebagai calon tenaga kerja yang terampil dan professional siap bersaing di dunia kerja.[14] Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Dinas Sosial Kab. Karawang menerima berkas Pendaftaran Penerima Manfaat BBRVBD Angkatan XXI Tahun 2018.
       Kegiatan pelatihan tersebut juga terhambat persyaratan bagi penyandang disabilitas di Kab. Karawang terkait masalah pendidikan. Peran Pemerintah Daerah sangat diperlukan dalam melakukan kebijakan program wajib belajar bagi para penyandang disabilitas atau melalui program Pendidikan Kesetaraan.
      Perusahaan yang mempekerjakan pekerja penyandang disabilitas wajib memenuhi hak pekerja penyandang disabilitas seperti pekerja lainnya. Menurut Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa:
Pemberi Kerja yang tidak menyediakan Akomodasi yang Layak dan fasilitas yang mudah diakses oleh tenaga kerja Penyandang Disabilitas dikenai sanksi administratif berupa:a.     teguran tertulis;
b.    penghentian kegiatan operasional;
c.     pembekuan izin usaha; dan
d.    pencabutan usaha.
       Penelitian yang dilakukan di PT. Beesco Indonesia menunjukkan bahwa penerimaan pekerja/buruh disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan yang dilakukan melalui persyaratan yang telah ditetapkan dalam surat keputusan tersendiri, dengan tetap mengindahkan pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan peraturan perusahaan, hal tersebut juga berlaku bagi tenaga kerja penyandang disabilitas. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas di PT. Beesco Indonesia dari proses rekrutmen, proses penempatan tenaga kerja, dan perlindungan kerja.
       Semua ketentuan perlindungan hukum yang telah dijelaskan di atas memang tidak secara khusus perlindungan hukum untuk pekerja penyandang disabilitas, namun semua peraturan tersebut tetap berlaku bagi penyandang disabilitas, karena penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama  dan berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam segala aspek kehidupan termasuk di dunia kerja.

2.        Tindakan Hukum Terhadap Perusahaan yang Tidak Mempekerjakan Paling Sedikit 1% (Satu Persen) Penyandang Disabilitas dari Jumlah Pekerja dalam Satu Perusahaan

       Penulis mendapatkan keterangan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang bahwa pihaknya tidak mengetahui pasti jumlah perusahaan di Kabupaten Karawang yang mempekerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 1% (satu persen) dari jumlah pekerja.[15] Begitu juga dari pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II tidak mengetahui data perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas. Berdasarkan keterangan dari Bapak Nursyamsi menyebutkan bahwa UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan hanya mengawasi ketenagakerjaan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya. Sedangkan ketentuan kuota pekerja penyandang disabilitas dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.[16] Padahal dalam Surat Edaran Menteri No.01.KP.01.15.2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan yang ditujukan kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Provinsi dan Kabupaten/Kota menyebutkan bahwa:
Sehubungan dengan hal tersebut kami agar Saudara dapat melaksanakan hal-hal sebagai berikut :1.    Melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 sebagai upaya penempatan tenaga kerja penyandang cacat di perusahaan-perusahaan.
2.    Melakukan pendataan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali.
3.    Melaporkan hasil pendataan perusahaan yang telah mempekerjakan Tenaga Kerja penyandang cacat kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi cq. Direktorat Jenderal Binalatpendagri termasuk realisasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997

       Berdasarkan hasil keterangan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang, perusahaan di Kabupaten Karawang yang mempekerjakan pekerja penyandang disabilitas cukup banyak adalah PT. Beesco Indonesia, meskipun belum memenuhi kuota minimal 1% (satu persen) pekerja penyandang disabilitas. Diketahui bahwa PT. Beesco Indonesia melakukan rekrutmen terhadap perkerja penyandang disabilitas.[17] Hal tersebut menunjukkan sebagian besar penyandang disabilitas terutama yang memiliki keadaan disabilitas sebelum bekerja (bukan disabilitas pasca kecelakaan kerja) atau bawaan lahir, tidak bekerja di perusahaan. Menunjukkan pula, bahwa perusahaan di Kabupaten Karawang kurang perhatian atau tidak ramah terhadap penyandang disabilitas.
       Tindakan pemerintah dalam hukum publik (jure imperii) merupakan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat administrasi dalam menjalankan fungsi pemerintahan. lahir dari kewenangan yang bersifat hukum publik pula. Kedudukan pemerintah sebagai pelaku hukum publik yang dilekati hak dan wewenang untuk menggunakan dan menjalankan berbagai peraturan dan keputusan serta wewenang diskresi, secara garis besar fungsi dan urusan pemerintahan itu dapat dikelompokan menjadi fungsi pembuatan peraturan perundang-undangan beserta penegakannya (regelen en handhaven), membuat keputusan (beschikken), dan membuat kebijakan (beleidsregel). Di samping itu juga pemerintah dilekati dengan kewajiban untuk memberikan pelayanan publik atau melaksanakan fungsi pelayanan (zorgsfunctie), terutama bagi negara-negara yang menganut atau dipengaruhi konsep welfare state.[18] Jika dikaitan dengan teori tersebut, maka tindakan hukum pemerintah terhadap perusahaan yang tidak mempekerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 1% (satu persen) dari jumlah pekerja adalah:
a.    Membuat peraturan perundang-undangan beserta penegakannya tentang kewajiban menempatkan tenaga kerja penyandang disabililats di perusahaan;
b.    Membuat keputusan tentang perusahaaan yang tidak menempatkan tenaga kerja penyandang disabilitas;
c.    Membuat kebijakan tentang kewajiban menempatkan tenaga kerja penyandang disabililats di perusahaan; dan
d.   Memberikan pelayanan publik atau melaksanakan fungsi pelayanan. Bentuk pelayanan publik kepada masyarakat (terutama penyandang disabilitas) termanifestasikan dengan kehadiran BUMN sebagai salah satu pilar perekonomian Indonesia. BUMN juga memang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang mewajibkan BUMN mempekerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 2% (dua persen) dari jumlah pekerja/pegawai.
      Berdasarkan konsep tersebut, maka negara/pemerintah berhak untuk melakukan tindakan hukum dan menghukum atau memberi sanksi demi terpenuhinya hak dan kewajiban terhadap perusahaan yang tidak mempekerjakan pekerja penyandang disabilitas paling sedikit 1% (satu persen) dari jumlah pekerjanya. Tindakan hukum publik mempunyai 2 (dua) jenis sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi administratif.
      Pemerintah dapat ikut serta dalam berbagai perbuatan hukum perdata, ikut mempengaruhi hubungan hukum keperdataan yang berlangsung dimasyarakat umum.[19] Pengusaha berorientasi paradigma ekonomis produktif, merekrut tenaga kerja penyandang disabilitas dinilai tidak ekonomis dengan pertimbangan keterbatasan dan aksesibilitas (pendaftaran, seleksi, penerimaan dan keberlanjutan kerja). Pemerintah Kabupaten Karawang sebagai pihak dalam hubungan industrial kurang melakukan sosialisasi melalui Kementerian Tenaga Kerja  Cq Dinas Tenaga Kerja tentang kuota 1% (satu persen). Pemerintah Cq Kementerian Tenaga Kerja seharusnya menerbitkan surat edaran yang ditujukan kepada instansi pemerintah lintas sektor dan perusahaan swasta yang menegaskan bahwa syarat “sehat jasmani dan rohani” tidak dimaksudkan untuk membatasi/menghilangkan kesempatan penyandang disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan, dimana hal tesebut selalu dicantumkan dalam informasi lowongan kerja. Pemerintah Kabupaten Karawang dapat mencontoh Peraturan Daerah lain terkait tenaga kerja penyandang disabilitas, sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Kota Mojokerto yang ikut andil dalam hukum keperdataan dalam hubungan kerja antara perusahaan dan tenaga kerja penyandang disabilitas, dengan membuat produk hukum berupa Peraturan Daerah Pemerintah Kota Mojokerto Nomor 15 tahun 2015 tentang Pengaturan Ketenagakerjaan Bagi Penyandang Disabilitas. Dalam perda tersebut diatur mulai dari perekrutan hingga pasca bekerja. Meliputi tata cara perekrutan dan penempatan kerja, bentuk hubungan kerja dan perjanjian kerja hingga prosedur pemutusan hubungan kerja bagi penyandang disabilitas.[20] Jika terjadi tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka perselisihan ini merupakan perselisihan hak. Perselisihan hak ini mengandung arti bahwa “hak” itu sudah ada, baik yang lahir karena ketentuan hukum atau lahir karena perjanjian.[21] Menurut hukum perdata apabila salah satu pihak melanggar aturan hukum (tidak melaksanakan kewajiban yang diatur oleh hukum), menyebabkan hilangnya hak orang lain. Sehubungan dengan hal di atas, maka perbuatan itu dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melanggar hukum. Sedangkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana telah diatur dalam perjanjian maka perbuatan itu dapat dikualifikasi sebagai perbuatan “ingkar janji” atau wanprestasi. Untuk itu tenaga kerja penyandang disabilitas dapat melakukan gugatan dan meminta ganti rugi.[22]
       Hal lain yang dapat dilakukan terkait ganti rugi, dapat berupa kewajiban pemberian bantuan dari perusahaan. Pemerintah Kabupaten Karawang dapat mencontoh Peraturan Daerah Kota Mojokerto dalam hal tindakan hukum terhadap perusahaan yang tidak mempekerjakan penyandang disabilitas paling sedikit  1% (satu persen) dari jumlah pekerja di masa yang akan datang. Pasal 21 Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pengaturan Ketenagakerjaan Bagi Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa:
(1)     SKPD yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan memfasilitasi pemenuhan kuota tenaga kerja disabilitas paling sedikit 1% (satu persen) pada perusahaan di Kota Mojokerto.
(2)     Perusahaan yang tidak memenuhi kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib untuk memberikan bantuan sebanyak 1 (satu) kali setiap tahun pada bulan Desember yang ditetapkan paling lambat setiap tanggal 28 Desember berupa:
a.         uang;
b.        peralatan bagi penyandang disabilitas; dan/atau
c.         perlengkapan bagi penyandang disabilitas.
kepada organisasi yang bergerak dibidang peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas di Kota Mojokerto yang telah terdaftar pada SKPD yang bertanggungjawab dibidang sosial.
(3)     Besaran bantuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) diberikan sesuai dengan kemampuan perusahaan dengan nilai paling sedikit jika dinilaikan dalam bentuk uang maka besarannya ditentukan sebesar Upah Minimum Kota Mojokerto yang berlaku saat itu dikalikan 14 (empat belas).
(4)     Organisasi penyandang disabilitas yang menerima bantuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) wajib membuat laporan pertanggungjawaban kepada SKPD yang bertanggungjawab dibidang sosial.
(5)     Tatacara pembuatan laporan pertanggungjawaban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Walikota.
       Berdasarkan konsep tersebut, penyandang disabilitas dapat meminta ganti rugi, dalam hal ini berupa bantuan dari perusahaan. Adanya peraturan perundang-undangan tersebut dapat menjadi tindakan hukum untuk memenuhi hak penyandang disabilitas karena tidak diberi kesempatan untuk dipekerjakan.

3.        Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Pekerja yang Mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Karena Kecelakaan Kerja yang Menimbulkan Disabilitas

       PT. Mondelez Indonesia merupakan perusahaan yang memproduksi makanan ringan biskuat. Pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap 98 orang buruh. Dari 98 orang buruh yang dikenai Pemutusan Hubungan Kerja, satu orang diantaranya adalah Jumhadi, buruh yang mengalami cacat permanen. Jumhadi mengalami cacat permanen akibat kecelakaan kerja di PT Mondelez Indonesia. Jari-jari tangan kanannya habis tergilas mesin pencetak kue, ia menyatakan penolakannya terhadap Pemutusan Hubungan Kerja sepihak yang menurutnya sama sekali tidak manusiawi. Buruh menduga salah satu alasan yang melatarbelakangi Pemutusan Hubungan Kerja tersebut adalah perusahaan melakukan pensiun dini terhadap karyawan yang produktivitasnya dinilai rendah, yakni buruh yang berusia lanjut, cacat fisik dan korban kecelakaan kerja. Tidak peduli jika buruh-buruh yang bersangkutan telah berkontribusi bagi kemajuan perusahaan di masa lalu. Hal tersebut menjadi dugaan yang mungkin benar, karena sebelum diadakannya pertemuan membahas Pemutusan Hubungan Kerja, pengusaha sempat menyarankan agar buruh mengambil pensiun dini.[23]
       Jika Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan atas dasar cacat yang diderita oleh pekerja, maka sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Menurut Nursyamsi, Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat, UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II menyebutkan bahwa, perusahaan sah saja untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja apabila pekerja dengan perusahaan melakukan perundingan dan sepakat atas Pemutusan Hubungan Kerja.[24]
       Jika pengusaha berusaha melakukan perundingan dengan pekerja mengenai Pemutusan Hubungan Kerja atas dasar cacat, dan tidak ditemui kata sepakat, maka pengusaha tidak dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja. Jika tidak tercapai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, pengusaha hanya dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ketentuan tersebut dimuat dalam Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi, “Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.
       Apabila Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dihindari dan pekerja sepakat dengan perusahaan, maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian hak.
       Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, upaya hukum yang dapat dilakukan pekerja atas Pemutusan Hubungan Kerja karena kecelakaan kerja dan menimbulkan cacat tetap (disabilitas) seperti kasus yang terjadi di PT. Mondelez Indonesia adalah melalui upaya hukum non litigasi, yaitu bipartit, konsiliasi, mediasi. Apabila belum mencapai kesepakatan maka melalui upaya hukum litigasi, yaitu melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

D.      Penutup

1.         Simpulan

       Dari hasil analisis terhadap pembahasan penelitian ini, dapat dibuat suatu simpulan sebagai berikut:
a.    Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas di Kabupaten Karawang dalam tataran kebijakan dan regulasi sudah cukup memadai yang ditandai dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, yang kurang adalah tidak adanya Peraturan Daerah yang khusus mengenai tenaga kerja penyandang disabilitas.
b.    Tindakan hukum yang dapat dilakukan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah terhadap perusahaan yang tidak mempekerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 1% (satu persen) dari jumlah pekerja, yaitu dengan melakukan tindakan hukum dalam hukum publik dan tindakan hukum dalam hukum privat. Tindakan hukum dalam hukum publik dapat dilakukan dengan memberikan sanksi pidana dan sanksi administratif, sedangkan tindakan hukum dalam hukum privat dengan meminta ganti rugi terhadap perusahaan.
c.    Upaya hukum yang dapat dilakukan pekerja atas Pemutusan Hubungan Kerja karena kecelakaan kerja dan menimbulkan cacat tetap (disabilitas) berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah dengan melakukan upaya hukum hukum non litigasi dan litigasi.

2.         Saran

              Dari simpulan tersebut maka dapat ditarik suatu saran sebagai berikut:
a.    Agar ketentuan-ketentuan yang melindungi tenaga kerja penyandang Disabilitas di Kabupaten Karawang dapat efektif dijalankan dan dipatuhi perusahaan/instansi, maka diperlukan sanksi yang menjerakan dan diperlukan pengawasan yang ketat oleh pegawai pengawas pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi atau Kabupaten/Kota terhadap perusahaan.
b.    Perlu adanya peraturan perundang-undangan yang baru, berupa Peraturan Pemerintah sampai dengan Peraturan Daerah di Kabupaten Karawang mengenai peraturan pelaksana tentang ketentuan tindakan hukum terhadap perusahaan yang tidak menjalankan kuota 1% (satu persen) pekerja penyandang disabilitas, sebagai contoh Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 15 tahun 2015 tentang Pengaturan Ketenagakerjaan Bagi Penyandang Disabilitas.
c.    Perlu adanya pengawasan yang ketat dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II terhadap adanya kecelakaan kerja, sehingga tidak ada Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja yang mengalami cacat tetap (disabilitas) akibat kecelakaan kerja. Selain itu, perlu adanya Peraturan Daerah yang mengakomodir para pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja.

Daftar Pustaka

1.        Buku
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013
Majda El Muhtaj, DimensiDimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012
Ridwan H.R., Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah,FH UII Press, Yogyakarta, 2014
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011
2.        Makalah, Artikel, dan Lain-lain
I Gusti Ngurah Adnyana, “Penjatuhan Sanksi dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial”, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.19, No.1 (2014),
3.        Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 15 tahun 2015 tentang Pengaturan Ketenagakerjaan Bagi Penyandang Disabilitas
4.        Internet
Admin, “Kabupaten Karawang dalam Angka 2017”,  https://karawangkab.bps.go.id/publication/2017/08/17/258839c82b4aaf001be0f08f/kabupaten-karawang-dalam-angka-2017.html, diakses pada Tanggal 20 November 2017, Pukul 10.10 WIB.
Admin, “Data Pemilih Sementara Pilkada Serentak Tahun 2018”, https://infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/pemilih/dps/1/JAWA%20BARAT/KARAWANG diakses pada Tanggal 19 April 2018, Pukul 23.38 WIB.
Desi, “Pembukaan Sosialisasi Kebijakan Penanaman Modal dalam Rangka Pengendalian Penanaman Modal Tahun 2016”, http://www.karawangkab.go.id/berita/pembukaan-sosialisasi-kebijakan-penanaman-modal-dalam-rangka-pengendalian-penanaman-modal, diakses pada Tanggal 9 April 2018, pukul 14.26 WIB.
Dodo Rihanto, “Para Penyandang Disabilitas di Karawang Minta Diperhatikan”, https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2017/10/15/para-penyandang-disabilitas-di-karawang-minta-diperhatikan-411569, diakses pada Tanggal 21 November 2017, Pukul 06.53 WIB.
Erniyanti, “Pabrik Biskuat Pecat Buruh Korban Kecelakaan Kerja”, http://www.solidaritas.net/pabrik-biskuat-pecat-buruh-korban-kecelakaan-kerja/ , diakses pada Tanggal 11 Februari 2017, Pukul 07.30 WIB.
Misti P, “Walikota Mojokerto Jadi Pembicara Seminar Nasional di Jakarta”, http://m.beritajatim.com/advetorial/312356/walikota_mojokerto_jadi_pembicara_seminar_nasional_di_jakarta.html, diakses pada tanggal 22 April 2018, pukul 16.13 WIB.





[1] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 343.
[2] Majda El Muhtaj, DimensiDimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 275.
[3]Admin, “Kabupaten Karawang dalam Angka 2017”,  https://karawangkab.bps.go.id/publication/2017/08/17/258839c82b4aaf001be0f08f/kabupaten-karawang-dalam-angka-2017.html, diakses pada Tanggal 20 November 2017, Pukul 10.10 WIB.
[4] Ibid.
[5] Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 26.
[6]Admin, “Data Pemilih Sementara Pilkada Serentak Tahun 2018”, https://infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/pemilih/dps/1/JAWA%20BARAT/KARAWANG diakses pada Tanggal 19 April 2018, Pukul 23.38 WIB.
[7] Desi, “Pembukaan Sosialisasi Kebijakan Penanaman Modal dalam Rangka Pengendalian Penanaman Modal Tahun 2016”, http://www.karawangkab.go.id/berita/pembukaan-sosialisasi-kebijakan-penanaman-modal-dalam-rangka-pengendalian-penanaman-modal, diakses pada Tanggal 9 April 2018, pukul 14.26 WIB.
[8] Hasil wawancara dengan Irma Hermayati, S.E., Bidang Bina Penempatan dan Perluasan Tenaga Kerja Disnakertrans Kab. Karawang,  pada tanggal 20 Maret 2018, pukul 09. 56 WIB.
[9] Dodo Rihanto, “Para Penyandang Disabilitas di Karawang Minta Diperhatikan”, https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2017/10/15/para-penyandang-disabilitas-di-karawang-minta-diperhatikan-411569, diakses pada Tanggal 21 November 2017, Pukul 06.53 WIB.
[10] Erniyanti, “Pabrik Biskuat Pecat Buruh Korban Kecelakaan Kerja”, http://www.solidaritas.net/pabrik-biskuat-pecat-buruh-korban-kecelakaan-kerja/ , diakses pada Tanggal 11 Februari 2017, Pukul 07.30 WIB.
[11] Hasil wawancara dengan Irma Hermayati, S.E., Bidang Bina Penempatan dan Perluasan Tenaga Kerja Disnakertrans Kab. Karawang,  pada tanggal 20 Maret 2018, pukul 09. 56 WIB.
[12] Hasil wawancara dengan Nanang Kosim, Ketua DPC Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia Kab. Karawang,  pada tanggal 23 Maret 2018, pukul 10. 45 WIB.
[13] Hasil wawancara dengan Rita Andriani, Kasie Penyandang Disabilitas Dinsos Kab. Karawang,  pada tanggal 20 Maret 2018, pukul 09. 56 WIB.
[14] Ibid.
[15] Hasil wawancara dengan Irma Hermayati, S.E., Bidang Bina Penempatan dan Perluasan Tenaga Kerja Disnakertrans Kab. Karawang,  pada tanggal 20 Maret 2018, pukul 09. 56 WIB.
[16] Hasil wawancara dengan Nursyamsi, Pengawas Ketenagakerjaan Disnakertrans Provinsi Jawa Barat UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II, pada tanggal 20 Maret 2018, pukul 11.26 WIB.
[17] Hasil wawancara dengan Irma Hermayati, S.E., Bidang Bina Penempatan dan Perluasan Tenaga Kerja Disnakertrans Kab. Karawang,  pada tanggal 20 Maret 2018, pukul 09. 56 WIB.
[18] Ridwan H.R., Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah,FH UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 102-103. 
[19] Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 167.
[20] Misti P, “Walikota Mojokerto Jadi Pembicara Seminar Nasional di Jakarta”, http://m.beritajatim.com/advetorial/312356/walikota_mojokerto_jadi_pembicara_seminar_nasional_di_jakarta.html, diakses pada tanggal 22 April 2018, pukul 16.13 WIB.
[21] I Gusti Ngurah Adnyana, “Penjatuhan Sanksi dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial”, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.19, No.1 (2014), hlm. 31.
[22] Ibid., hlm. 32.
[23] Erniyanti, “Pabrik Biskuat Pecat Buruh Korban Kecelakaan Kerja”, http://www.solidaritas.net/pabrik-biskuat-pecat-buruh-korban-kecelakaan-kerja/ , diakses pada Tanggal 11 Februari 2017, Pukul 07.30 WIB.
[24] Hasil wawancara dengan Nursyamsi, Pengawas Ketenagakerjaan Disnakertrans Provinsi Jawa Barat UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II, pada tanggal 20 Maret 2018, pukul 11.26 WIB.

Labels: