Imam Budi Santoso, S.H., M.H.
Dr. Holyness N. Singadimedja, S.H., M.H.
Dede Nurdin, S.H.
Aksesibilitas yang masih tersisihkan
dari masyarakat menjadi salah satu kendala bagi penyandang disabilitas
khususnya di Indonesia. Hal tersebut berdampak pada dunia kerja dan tersedianya
kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Kabupaten Karawang seharusnya mengetahui jumlah tenaga kerja
penyandang disabilitas dan jumlah perusahaan yang mempekerjakan penyandang
disabilitas, hal tersebut berdasarkan Surat Edaran Menteri No.01.KP.01.15.2002
tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan yang ditujukan
kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Berbeda
kasus yang terjadi di PT. Mondelez Indonesia, Klari, Kabupaten Karawang,
pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja yang
mengalami cacat tetap (disabilitas) akibat kecelakaan kerja.
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian yuridis normatif yang dilakukan sebagai upaya untuk
mendapatkan data yang diperlukan sehubungan dengan permasalahan. Data yang
digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, juga digunakan data primer sebagai
pendukung bahan data sekunder. Analisis data dilakukan dengan metode analisis
yuridis kualitatif.
Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja
penyandang disabilitas di Kabupaten Karawang belum terlaksana dengan baik,
khususnya berkaitan dengan hak memperoleh kesempatan kerja di perusahaan. Tindakan hukum dalam hukum
publik dapat dilakukan dengan memberikan sanksi pidana dan sanksi
administratif, sedangkan tindakan hukum dalam hukum privat dengan meminta ganti
rugi terhadap perusahaan.yang tidak mempekerjakan paling sedikit 1% (satu
persen) dari jumlah pekerja. Upaya hukum yang dapat dilakukan pekerja atas
Pemutusan Hubungan Kerja karena kecelakaan kerja dan menimbulkan cacat tetap
(disabilitas) adalah dengan melakukan upaya hukum hukum non litigasi dan
litigas
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Tenaga Kerja, Penyandang Disabilitas
A.
Latar Belakang
Doktrin tentang Hak Asasi Manusia
sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, and legal framework and as a guideline dalam
membangun dunia yang lebih dalam dan bebas dari rasa ketakutan dan penindasan
serta perlakuan yang tidak adil. Dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan
Hak Asasi Manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara
yang dapat disebut rechtsstaat.
Penyandang disabilitas
memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non
disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, sudah sepantasnya
penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, yang dimaksudkan sebagai
upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan
terutama perlindungan dari berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Keistimewaan
dan perlakuan khusus tersebut dipandang sebagai upaya maksimalisasi
penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia universal.[2]
Aksesibilitas
yang masih tersisihkan dari masyarakat menjadi salah satu kendala bagi
penyandang disabilitas khususnya di Indonesia. Hal tersebut berdampak pada
dunia kerja dan tersedianya kesempatan kerja bagi penyandang
disabilitas di Indonesia. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 berbunyi bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Hak bagi warga negara
sebagai pekerja juga diatur dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa, “Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja”. Dalam penjelasan Pasal
5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:
Setiap tenaga
kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan
aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang
bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Kabupaten Karawang, pada Tahun 2016 jumlah penduduk Kabupaten Karawang mencapai
2.295.778 jiwa. Angka ini didapatkan dari hasil proyeksi dan angka tersebut
masih sementara. Penduduk laki-laki pada Tahun 2016 berjumlah 1.177.310 jiwa
dan penduduk perempuan berjumlah 1.118.468 jiwa, sedangkan jumlah penyandang
disabilitas berjumlah 6.237 jiwa.[3]
Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Karawang, diketahui bahwa jumlah tenaga kerja di
Kabupaten Karawang adalah 1.676.779 jiwa.[4] Dinas Tenaga Kerja dan
Transimigrasi Kabupaten Karawang tidak mempunyai data khusus jumlah tenaga
kerja penyandang disabilitas di Kabupaten Karwang.
Sebagaimana ditulis oleh Payaman J. Simanjuntak bahwa
pengertian tenaga kerja atau manpower
adalah mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari
kerja dan yang melakukan pekerjaan lain seperti sekolah dan mengurus rumah
tangga. Jadi semata-mata dilihat dari batas umur, untuk kepentingan sensus di
Indonesia menggunakan batas umur minimum 15 tahun dan batas umur maksimum 55
tahun.[5]
Adapun data dari Komisi Pemilihan
Umum jumlah penyandang disabilitas yang sudah mempunyai hak pilih di Kabupaten
Karawang berdasarkan Data Pemilih Sementara Pilkada Serentak Tahun 2018 adalah
1.772 orang.[6] Data
tersebut dapat menjadi acuan jumlah tenaga kerja penyandang disabilitas di
Kabupaten Karawang.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Pengembangan
Kawasan Industri, Kabupaten Karawang ditetapkan sebagai daerah pengembangan
kawasan industri, yang hingga saat ini jumlah industri mencapai 9.979 unit
usaha.[7]
Berdasarkan keterangan dari pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Karawang,
pihaknya tidak mengetahui jumlah pekerja penyandang disabilitas dan jumlah
perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas.[8] Hal
tersebut berkontradiksi dengan Surat Edaran Menteri No.01.KP.01.15.2002 tentang
Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan yang ditujukan kepada
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk
melakukan pendataan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat
(disabilitas) secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali.
Menurut Nanang Kosim, Ketua DPC
Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Karawang,
Pemerintah Kabupaten Karawang terkesan menganaktirikan penyandang keterbatasan
fisik di daerahnya. Padahal, mereka ingin disejajarkan dengan warga normal pada
umumnya. Disebutkan, setiap tahun kaum difabel di Karawang memang mendapat
pelatihan dari Dinas Sosial setempat. Namun hal itu belum cukup, sebab mereka
juga membutuhkan lapangan kerja atau permodalan.[9]
Berbeda kasus yang terjadi di PT. Mondelez
Indonesia, Klari, Kabupaten Karawang, pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) terhadap 98 orang buruh. Dari 98 orang buruh yang dikenai PHK, satu orang diantaranya
adalah Jumhadi, buruh yang mengalami cacat permanen. Jumhadi mengalami cacat
permanen akibat kecelakaan kerja di PT Mondelez Indonesia. Jari-jari tangan
kanannya habis tergilas mesin pencetak kue. Sebagai korban kecelakaan kerja di perusahaan yang
memproduksi makanan ringan biskuat ini, ia menyatakan penolakannya terhadap PHK
sepihak yang menurutnya sama sekali tidak manusiawi. Salah satu rekan Jumhadi yang juga dikenai
PHK, Teddy Gantika sangat menyayangkan keputusan itu. Menurutnya
melakukan PHK terhadap buruh yang mengalami cacat permanen sangatlah tidak manusiawi karena
korban akan sulit mendapatkan pekerjaan baru. Buruh menduga salah satu alasan
yang melatarbelakangi PHK tersebut adalah perusahaan melakukan pensiun dini
terhadap karyawan yang produktivitasnya dinilai rendah, yakni buruh yang
berusia lanjut, cacat fisik dan korban kecelakaan
kerja. Tidak peduli jika buruh-buruh yang bersangkutan telah berkontribusi
bagi kemajuan perusahaan di masa lalu. Hal tersebut menjadi dugaan yang mungkin
benar, karena sebelum diadakannya pertemuan membahas PHK, pengusaha sempat
menyarankan agar buruh mengambil pensiun dini.[10]
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut,
maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
perlindungan hukum terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas di Kabupaten
Karawang?
2. Bagaimanakah
tindakan hukum terhadap perusahaan yang tidak mempekerjakan paling sedikit 1% (satu
persen) penyandang disabilitas dari jumlah pekerja dalam satu perusahaan?
3.
Bagaimanakah
upaya hukum yang dapat dilakukan pekerja yang mendapatkan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) karena kecelakaan kerja yang menimbulkan disabilitas?
B.
Metode Penelitian
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang
dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan sehubungan
dengan permasalahan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, juga
digunakan data primer sebagai pendukung bahan data sekunder. Analisis data
dilakukan dengan metode analisis yuridis kualitatif.
C.
Pembahasan
1.
Perlindungan Hukum
Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas di Kabupaten Karawang
Hak tenaga kerja penyandang disabilitas
untuk bekerja telah diatur secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat. Undang-Undang yang baru belum mempunyai peraturan pelaksana.
Peraturan pelaksana yang lama tersebut masih tetap digunakan berdasarkan
ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3670),
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.
Perlindungan hukum mengenai kesempatan
kerja bagi tenaga kerja penyandang disabilitas juga diakui dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu dalam Pasal 5 yang menyatakan
bahwa, “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi
untuk mendapatkan pekerjaan”. Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa:
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama
untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan
tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para
penyandang cacat.
Peraturan atau regulasi yang lebih
rendah terkait dengan pelatihan kerja dan penempatan tenaga kerja penyandang
disabilitas, yaitu melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
Nomor KEP-205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja
Penyandang Cacat, serta Surat Edaran Menteri No.01.KP.01.15.2002 tentang
Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan. Pemerintah Kab. Karawang belum mempunyai
peraturan perundang-undangan khusus mengenai tenaga kerja penyandang
disabilitas. Pemerintah Kab. Karawang masih menganggap penyandang disabilitas
sebagai subjek yang perlu dikasihani secara sosial, bukan memenuhi hak yang
setara dengan warga lainnya, terutama masalah hak atas pekerjaan.
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan penulis, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Karawang mempunyai
Balai Latihan Kerja (BLK) yang terus melakukan inovasi terhadap apa yang
menjadi keperluan perusahaan guna mewujudkan masyarakat yang menginginkan
bekerja di pabrik. Balai Latihan Kerja merupakan wadah untuk menampung kegiatan
pelatihan. Selain itu untuk memberikan, memperoleh, meningkatkan serta mengembangkan
keterampilan, produktivitas, disiplin, sikap kerja, dan etos kerja yang
pelaksanaannya lebih mengutamakan praktek daripada teori.
Masyarakat yang ingin mengikuti
pelatihan di Balai Latihan Kerja tidak dipungut biaya (gratis), namun ada
persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu usia minimal 18 tahun, fotokopi KTP dan
ijazah, pendidikan minimal SMA sederajat, pendidikan minimal SMP sederajat
(khusus kejuruan garmen), pas foto berwarna ukuran 3x4 4 lembar, pendaftaran
mulai hari senin sampai jumat dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00
WIB. Jenis kejuruannya yaitu, teknik manufaktur, teknik listrik, teknik las,
teknik otomotif, teknik bisnis dan manajemen, teknik elektronika, teknik garmen
apparel, tata kecantikan, teknologi
informasi, perikanan, prosesing, dan industri kreatif. Berdasarkan hal tersebut
Balai Latihan Kerja dapat menjadi partner
terhadap perusahaan dan masyarakat perlu tahu bahwa Balai Latihan Kerja
akan membantu untuk penempatan kerja, namun hal tersebut disesuaikan atas
kebutuhan perusahaan.
Selain melalui pelatihan di Balai
Latihan Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Karawang juga mempunyai
program peningkatan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas, yaitu Program
Peningkatan Kesempatan Kerja Kegiatan Pemberdayaan Tenaga Kerja Mandiri
Penciptaan Wirausaha Baru Tenaga Kerja Disabilitas di Kab. Karawang. Pelatihan
yang sudah dilakukan seperti pelatihan sablon, pelatihan servis handphone, dan lain-lain.[11]
Dasar hukum peraturan pelaksana kegiatan tersebut adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 33 Tahun 2013 tentang Perluasan Kesempatan Kerja.
Menurut Nanang Kosim, Ketua DPC Perkumpulan Penyandang
Disabilitas Indonesia Kab. Karawang menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi
oleh para penyandang disabilitas adalah kriteria pendidikan minimal SMA
sederajat dalam persyaratan pelatihan maupun persyaratan lowongan pekerjaan
pada perusahaan, kenyataannya rata-rata pendidikan yang dimiliki para
penyandang disabilitas di Kab. Karawang adalah SD sederajat atau SMP sederajat.
Seperti diketahui bahwa Sekolah Luar Biasa di Kab. Karawang hanya ada di
perkotaan, jadi aksesibilitas terhambat jarak tempuh bagi penyandang
disabilitas dari pedesaan.[12] Hak
atas pendidikan penyandang disabilitas telah dijamin dalam Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyebutkan bahwa,
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengikutsertakan anak penyandang
disabilitas dalam program wajib belajar 12 (dua belas) tahun”.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa Dinas Sosial Kab. Karawang ikut berperan dalam upaya peningkatan
kesempatan kerja mealui Loka Bina Karya berupa pelatihan tata boga, menjahit,
cukur rambut dan lain-lain. Selain itu juga Dinas Sosial berperan dalam
menginformasikan kepada penyandang disabilitas untuk mendapatkan pelayanan
rehabilitasi dari Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD)
Kementerian Sosial Republik Indonesia.[13]
Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina
Daksa (BBRVBD) merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi
Vokasional untuk penyandang disabilitas fisik di lingkungan Kementerian Sosial
Republik Indonesia yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur
Jenderal Rehabilitasi Sosial. Seiring dengan perkembangannya, BBRVBD mempunyai
tujuan akhir menjadikan penyandang disabilitas fisik sebagai calon tenaga kerja
yang terampil dan professional siap bersaing di dunia kerja.[14]
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Dinas Sosial Kab. Karawang
menerima berkas Pendaftaran Penerima Manfaat BBRVBD Angkatan XXI Tahun 2018.
Kegiatan pelatihan tersebut juga
terhambat persyaratan bagi penyandang disabilitas di Kab. Karawang terkait
masalah pendidikan. Peran Pemerintah Daerah sangat diperlukan dalam melakukan
kebijakan program wajib belajar bagi para penyandang disabilitas atau melalui
program Pendidikan Kesetaraan.
Perusahaan yang mempekerjakan pekerja penyandang disabilitas wajib
memenuhi hak pekerja penyandang disabilitas seperti pekerja lainnya. Menurut
Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas menyebutkan bahwa:
Pemberi Kerja yang tidak menyediakan Akomodasi yang Layak
dan fasilitas yang mudah diakses oleh tenaga kerja Penyandang Disabilitas
dikenai sanksi administratif berupa:a.
teguran tertulis;
b.
penghentian kegiatan operasional;
c.
pembekuan izin usaha; dan
d.
pencabutan usaha.
Penelitian yang dilakukan di PT. Beesco
Indonesia menunjukkan bahwa penerimaan pekerja/buruh disesuaikan dengan
kebutuhan perusahaan yang dilakukan melalui persyaratan yang telah ditetapkan
dalam surat keputusan tersendiri, dengan tetap mengindahkan pada peraturan
perundangan-undangan yang berlaku dan peraturan perusahaan, hal tersebut juga
berlaku bagi tenaga kerja penyandang disabilitas. Pelaksanaan perlindungan
hukum terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas di PT. Beesco Indonesia dari
proses rekrutmen, proses penempatan tenaga kerja, dan perlindungan kerja.
Semua ketentuan perlindungan hukum yang
telah dijelaskan di atas memang tidak secara khusus perlindungan hukum untuk
pekerja penyandang disabilitas, namun semua peraturan tersebut tetap berlaku
bagi penyandang disabilitas, karena penyandang disabilitas mempunyai kesempatan
yang sama dan berhak mendapatkan
perlakuan yang sama dalam segala aspek kehidupan termasuk di dunia kerja.
2.
Tindakan Hukum Terhadap
Perusahaan yang Tidak Mempekerjakan Paling Sedikit 1% (Satu Persen) Penyandang
Disabilitas dari Jumlah Pekerja dalam Satu Perusahaan
Penulis mendapatkan keterangan dari
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang bahwa pihaknya tidak
mengetahui pasti jumlah perusahaan di Kabupaten Karawang yang mempekerjakan
penyandang disabilitas paling sedikit 1% (satu persen) dari jumlah pekerja.[15]
Begitu juga dari pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat
UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II tidak mengetahui data perusahaan
yang mempekerjakan penyandang disabilitas. Berdasarkan keterangan dari Bapak
Nursyamsi menyebutkan bahwa UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan hanya mengawasi
ketenagakerjaan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya. Sedangkan ketentuan kuota pekerja
penyandang disabilitas dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas.[16]
Padahal dalam Surat Edaran Menteri No.01.KP.01.15.2002 tentang Penempatan
Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan yang ditujukan kepada Kepala Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Provinsi dan Kabupaten/Kota menyebutkan bahwa:
Sehubungan dengan hal
tersebut kami agar Saudara dapat melaksanakan hal-hal sebagai berikut :1.
Melakukan sosialisasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 sebagai upaya penempatan tenaga kerja
penyandang cacat di perusahaan-perusahaan.
2.
Melakukan pendataan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja
penyandang cacat secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali.
3. Melaporkan
hasil pendataan perusahaan yang telah mempekerjakan Tenaga Kerja penyandang
cacat kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi cq. Direktorat Jenderal
Binalatpendagri termasuk realisasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1997
Berdasarkan hasil keterangan dari Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang, perusahaan di Kabupaten
Karawang yang mempekerjakan pekerja penyandang disabilitas cukup banyak adalah
PT. Beesco Indonesia, meskipun belum memenuhi kuota minimal 1% (satu persen)
pekerja penyandang disabilitas. Diketahui bahwa PT. Beesco Indonesia melakukan
rekrutmen terhadap perkerja penyandang disabilitas.[17] Hal
tersebut menunjukkan sebagian besar penyandang disabilitas terutama yang
memiliki keadaan disabilitas sebelum bekerja (bukan disabilitas pasca
kecelakaan kerja) atau bawaan lahir, tidak bekerja di perusahaan. Menunjukkan
pula, bahwa perusahaan di Kabupaten Karawang kurang perhatian atau tidak ramah
terhadap penyandang disabilitas.
Tindakan pemerintah dalam hukum publik (jure
imperii) merupakan
tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat administrasi dalam
menjalankan fungsi pemerintahan. lahir dari kewenangan yang bersifat hukum
publik pula. Kedudukan pemerintah sebagai pelaku hukum publik yang dilekati hak
dan wewenang untuk menggunakan dan menjalankan berbagai peraturan dan keputusan
serta wewenang diskresi, secara garis besar fungsi dan urusan pemerintahan itu
dapat dikelompokan menjadi fungsi pembuatan
peraturan perundang-undangan
beserta penegakannya (regelen en handhaven), membuat keputusan (beschikken),
dan membuat kebijakan (beleidsregel).
Di samping itu juga pemerintah dilekati dengan kewajiban untuk memberikan pelayanan publik atau melaksanakan
fungsi pelayanan (zorgsfunctie),
terutama bagi negara-negara yang menganut atau dipengaruhi konsep welfare
state.[18] Jika dikaitan dengan teori tersebut, maka
tindakan hukum pemerintah terhadap perusahaan yang tidak mempekerjakan
penyandang disabilitas paling sedikit 1% (satu persen) dari jumlah pekerja
adalah:
a. Membuat
peraturan perundang-undangan beserta penegakannya tentang kewajiban menempatkan
tenaga kerja penyandang disabililats di perusahaan;
b. Membuat keputusan tentang perusahaaan yang
tidak menempatkan tenaga kerja penyandang disabilitas;
c. Membuat
kebijakan tentang kewajiban menempatkan
tenaga kerja penyandang disabililats di perusahaan; dan
d. Memberikan pelayanan publik atau melaksanakan fungsi
pelayanan. Bentuk pelayanan publik kepada masyarakat (terutama penyandang
disabilitas) termanifestasikan dengan kehadiran BUMN sebagai salah satu pilar
perekonomian Indonesia. BUMN juga memang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang mewajibkan BUMN mempekerjakan
penyandang disabilitas paling sedikit 2% (dua persen) dari jumlah
pekerja/pegawai.
Berdasarkan konsep tersebut, maka negara/pemerintah berhak untuk
melakukan tindakan hukum dan menghukum atau memberi sanksi demi terpenuhinya
hak dan kewajiban terhadap perusahaan yang tidak mempekerjakan pekerja
penyandang disabilitas paling sedikit 1% (satu persen) dari jumlah pekerjanya.
Tindakan hukum publik mempunyai 2 (dua) jenis sanksi, yaitu sanksi pidana dan
sanksi administratif.
Pemerintah dapat ikut serta dalam berbagai perbuatan hukum perdata, ikut
mempengaruhi hubungan hukum keperdataan yang berlangsung dimasyarakat umum.[19]
Pengusaha berorientasi paradigma ekonomis produktif, merekrut tenaga kerja
penyandang disabilitas dinilai tidak ekonomis dengan pertimbangan keterbatasan
dan aksesibilitas (pendaftaran, seleksi, penerimaan dan keberlanjutan kerja).
Pemerintah Kabupaten Karawang sebagai pihak dalam hubungan industrial kurang
melakukan sosialisasi melalui Kementerian Tenaga Kerja Cq Dinas Tenaga Kerja tentang kuota 1% (satu
persen). Pemerintah Cq Kementerian Tenaga Kerja seharusnya menerbitkan surat
edaran yang ditujukan kepada instansi pemerintah lintas sektor dan perusahaan
swasta yang menegaskan bahwa syarat “sehat jasmani dan rohani” tidak
dimaksudkan untuk membatasi/menghilangkan kesempatan penyandang disabilitas
dalam mendapatkan pekerjaan, dimana hal tesebut selalu dicantumkan dalam
informasi lowongan kerja. Pemerintah Kabupaten Karawang dapat mencontoh
Peraturan Daerah lain terkait tenaga kerja penyandang disabilitas, sebagaimana
yang dilakukan Pemerintah Kota Mojokerto yang ikut andil dalam hukum
keperdataan dalam hubungan kerja antara perusahaan dan tenaga kerja penyandang
disabilitas, dengan membuat produk hukum berupa Peraturan Daerah Pemerintah
Kota Mojokerto Nomor 15 tahun 2015 tentang Pengaturan Ketenagakerjaan Bagi
Penyandang Disabilitas. Dalam perda tersebut diatur mulai dari perekrutan
hingga pasca bekerja. Meliputi tata cara perekrutan dan penempatan kerja,
bentuk hubungan kerja dan perjanjian kerja hingga prosedur pemutusan hubungan
kerja bagi penyandang disabilitas.[20] Jika
terjadi tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka perselisihan ini
merupakan perselisihan hak. Perselisihan hak ini mengandung arti bahwa “hak”
itu sudah ada, baik yang lahir karena ketentuan hukum atau lahir karena
perjanjian.[21]
Menurut hukum perdata apabila salah satu pihak melanggar aturan hukum (tidak
melaksanakan kewajiban yang diatur oleh hukum), menyebabkan hilangnya hak orang
lain. Sehubungan dengan hal di atas, maka perbuatan itu dapat dikualifikasi
sebagai perbuatan melanggar hukum. Sedangkan apabila salah satu pihak tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana telah diatur dalam perjanjian maka perbuatan itu
dapat dikualifikasi sebagai perbuatan “ingkar janji” atau wanprestasi. Untuk itu
tenaga kerja penyandang disabilitas dapat melakukan gugatan dan meminta ganti
rugi.[22]
Hal lain yang dapat dilakukan terkait
ganti rugi, dapat berupa kewajiban pemberian bantuan dari perusahaan.
Pemerintah Kabupaten Karawang dapat mencontoh Peraturan Daerah Kota Mojokerto
dalam hal tindakan hukum terhadap perusahaan yang tidak mempekerjakan
penyandang disabilitas paling sedikit 1%
(satu persen) dari jumlah pekerja di masa yang akan datang. Pasal 21 Peraturan Daerah
Kota Mojokerto Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pengaturan Ketenagakerjaan Bagi
Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa:
(1) SKPD
yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan memfasilitasi pemenuhan kuota
tenaga kerja disabilitas paling sedikit 1% (satu persen) pada perusahaan di
Kota Mojokerto.
(2) Perusahaan
yang tidak memenuhi kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib untuk
memberikan bantuan sebanyak 1 (satu) kali setiap tahun pada bulan Desember yang
ditetapkan paling lambat setiap tanggal 28 Desember berupa:
a.
uang;
b.
peralatan bagi penyandang disabilitas; dan/atau
c.
perlengkapan bagi penyandang disabilitas.
kepada
organisasi yang bergerak dibidang peningkatan kesejahteraan penyandang
disabilitas di Kota Mojokerto yang telah terdaftar pada SKPD yang
bertanggungjawab dibidang sosial.
(3) Besaran
bantuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) diberikan sesuai dengan
kemampuan perusahaan dengan nilai paling sedikit jika dinilaikan dalam bentuk
uang maka besarannya ditentukan sebesar Upah Minimum Kota Mojokerto yang
berlaku saat itu dikalikan 14 (empat belas).
(4) Organisasi
penyandang disabilitas yang menerima bantuan sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (2) wajib membuat laporan pertanggungjawaban kepada SKPD yang
bertanggungjawab dibidang sosial.
(5)
Tatacara pembuatan laporan pertanggungjawaban sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Walikota.
Berdasarkan konsep
tersebut, penyandang disabilitas dapat meminta ganti rugi, dalam hal ini berupa
bantuan dari perusahaan. Adanya peraturan perundang-undangan tersebut dapat
menjadi tindakan hukum untuk memenuhi hak penyandang disabilitas karena tidak
diberi kesempatan untuk dipekerjakan.
3.
Upaya Hukum yang Dapat
Dilakukan Pekerja yang Mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Karena
Kecelakaan Kerja yang Menimbulkan Disabilitas
PT. Mondelez Indonesia
merupakan perusahaan yang memproduksi makanan ringan biskuat.
Pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap 98 orang buruh. Dari 98 orang buruh yang dikenai
Pemutusan Hubungan Kerja, satu orang diantaranya adalah Jumhadi, buruh yang
mengalami cacat permanen. Jumhadi mengalami cacat permanen akibat kecelakaan
kerja di PT Mondelez Indonesia. Jari-jari tangan kanannya habis tergilas mesin
pencetak kue, ia menyatakan penolakannya terhadap Pemutusan Hubungan Kerja
sepihak yang menurutnya sama sekali tidak manusiawi. Buruh menduga salah satu
alasan yang melatarbelakangi Pemutusan Hubungan Kerja tersebut adalah
perusahaan melakukan pensiun dini terhadap karyawan yang produktivitasnya
dinilai rendah, yakni buruh yang berusia lanjut, cacat fisik dan korban kecelakaan kerja. Tidak peduli jika
buruh-buruh yang bersangkutan telah berkontribusi bagi kemajuan perusahaan di
masa lalu. Hal tersebut menjadi dugaan yang mungkin benar, karena sebelum
diadakannya pertemuan membahas Pemutusan Hubungan Kerja, pengusaha sempat
menyarankan agar buruh mengambil pensiun dini.[23]
Jika Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan
atas dasar cacat yang diderita oleh pekerja, maka sebagaimana diatur dalam
Pasal 153 ayat (2) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja tersebut
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan. Menurut Nursyamsi, Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat, UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan
Wilayah II menyebutkan bahwa, perusahaan sah saja untuk melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja apabila pekerja dengan perusahaan melakukan perundingan dan
sepakat atas Pemutusan Hubungan Kerja.[24]
Jika pengusaha berusaha melakukan
perundingan dengan pekerja mengenai Pemutusan Hubungan Kerja atas dasar cacat,
dan tidak ditemui kata sepakat, maka pengusaha tidak dapat melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja terhadap pekerja. Jika tidak tercapai kesepakatan antara
pengusaha dan pekerja, pengusaha hanya dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja
terhadap pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Ketentuan tersebut dimuat dalam Pasal 151
ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi, “Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial”.
Apabila Pemutusan Hubungan Kerja tidak
dapat dihindari dan pekerja sepakat dengan perusahaan, maka pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja yang
disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian hak.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, upaya hukum yang
dapat dilakukan pekerja atas Pemutusan Hubungan Kerja karena kecelakaan kerja
dan menimbulkan cacat tetap (disabilitas) seperti kasus yang terjadi di PT.
Mondelez Indonesia adalah melalui upaya hukum non litigasi, yaitu bipartit,
konsiliasi, mediasi. Apabila belum mencapai kesepakatan maka melalui upaya
hukum litigasi, yaitu melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
D.
Penutup
1.
Simpulan
Dari hasil analisis terhadap pembahasan
penelitian ini, dapat dibuat suatu simpulan sebagai berikut:
a. Perlindungan
hukum terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas di Kabupaten Karawang dalam
tataran kebijakan dan regulasi sudah cukup memadai yang ditandai dengan
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu mulai dari
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, yang
kurang adalah tidak adanya Peraturan Daerah yang khusus mengenai tenaga kerja
penyandang disabilitas.
b. Tindakan
hukum yang dapat dilakukan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah terhadap
perusahaan yang tidak mempekerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 1%
(satu persen) dari jumlah pekerja, yaitu dengan melakukan tindakan hukum dalam
hukum publik dan tindakan hukum dalam hukum privat. Tindakan hukum dalam hukum
publik dapat dilakukan dengan memberikan sanksi pidana dan sanksi
administratif, sedangkan tindakan hukum dalam hukum privat dengan meminta ganti
rugi terhadap perusahaan.
c. Upaya
hukum yang dapat dilakukan pekerja atas Pemutusan Hubungan Kerja karena
kecelakaan kerja dan menimbulkan cacat tetap (disabilitas) berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial adalah dengan melakukan upaya hukum hukum non litigasi dan litigasi.
2.
Saran
Dari simpulan tersebut maka dapat ditarik
suatu saran sebagai berikut:
a. Agar
ketentuan-ketentuan yang melindungi tenaga kerja penyandang Disabilitas di
Kabupaten Karawang dapat efektif dijalankan dan dipatuhi perusahaan/instansi,
maka diperlukan sanksi yang menjerakan dan diperlukan pengawasan yang ketat
oleh pegawai pengawas pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi atau
Kabupaten/Kota terhadap perusahaan.
b. Perlu
adanya peraturan perundang-undangan yang baru, berupa Peraturan Pemerintah
sampai dengan Peraturan Daerah di Kabupaten Karawang mengenai peraturan
pelaksana tentang ketentuan tindakan hukum terhadap perusahaan yang tidak
menjalankan kuota 1% (satu persen) pekerja penyandang disabilitas, sebagai
contoh Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 15 tahun 2015 tentang Pengaturan
Ketenagakerjaan Bagi Penyandang Disabilitas.
c. Perlu
adanya pengawasan yang ketat dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi
Jawa Barat UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II terhadap adanya
kecelakaan kerja, sehingga tidak ada Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja
yang mengalami cacat tetap (disabilitas) akibat kecelakaan kerja. Selain itu,
perlu adanya Peraturan Daerah yang mengakomodir para pekerja yang mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja.
Daftar Pustaka
1.
Buku
Jimly
Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013
Majda
El Muhtaj, Dimensi‐Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008
Lalu
Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012
Ridwan H.R., Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah,FH UII Press, Yogyakarta,
2014
Philipus
M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2011
2.
Makalah,
Artikel, dan Lain-lain
I
Gusti Ngurah Adnyana, “Penjatuhan Sanksi dalam Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial”, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.19, No.1 (2014),
3.
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 15 tahun 2015 tentang
Pengaturan Ketenagakerjaan Bagi Penyandang Disabilitas
4.
Internet
Admin,
“Data Pemilih Sementara Pilkada Serentak Tahun 2018”, https://infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/pemilih/dps/1/JAWA%20BARAT/KARAWANG
diakses pada Tanggal 19 April 2018, Pukul 23.38 WIB.
Labels: karya tulis ilmiah