Friday, January 13, 2017

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA


Sistem hukum perburuhan atau hukum ketenagakerjaan yang berkembang dari industrialisasi di Eropa abad ke-19, yang kemudian diadopsi oleh negara- negara lain di dunia, pada dasarnya merupakan sebuah upaya untuk memecahkan konflik antara majikan atau pengusaha dan buruh atau tenaga kerja ke dalam suatu sistem rasional legal. Teori-teori hukum positivis menekankan peran yang netral dari aturanaturan dalam memelihara kepentingankepentingan dari semua kelompok ke dalam apa yang didefinisikan sebagai “aturan-aturan permainan” (rules of the game). Sementara itu, institusi pengadilan dengan para hakimnya dipandang sebagai wasit atau pengawas dan petugas yang bertugas untuk mengimplementasikan aturanaturan permainan tersebut.

Peraturan perundangan yang berkaitan dengan proses penyelesaian perburuhan yang pernah diberlakukan di Indonesia adalah melalui Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang penyelesaian perburuhan melalui perantaraan. Undang-undang itu memberikan putusan yang berupa anjuran kepada pihak-pihak yang berselisih. Jika usaha Menteri Perburuhan itu tidak berhasil, maka perselisihan diserahkan kembali kepada panitia pusat. Cara penyelesaian perselisihan perburuhan menurut UU No. 22 Tahun 1957 yang berpegang pada asas musyawarah untuk mufakat berpijak pada tahap pertama: bila terjadi perselisihan, penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak yang berselisih. Demikian juga UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Swasta serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya menghendaki penyelesaian perselisihan perburuhan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat sehingga tercapai perdamaian antara tenaga kerja dan pengusaha. Dalam hal tidak dicapainya perdamaian antara pihak yang berselisih setelah dicari upaya penyelesaian para pihak, baru diusahakan penyelesaiannya oleh Badan Penyelesaian Perburuhan (BPP).

Di Indonesia, keberadaan pengadilan perburuhan yang dikenal dengan Undang- Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI) telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 16 Desember 2003. Tepat sebulan kemudian, tanggal 14 Januari 2004, UU Perselisihan Hubungan Industrial diundangkan oleh Presiden menjadi UU No. 2 Tahun 2004, dan berlaku secara efektif setahun kemudian. Jiwa Undang-Undang Perselisihan Hubungan Industrial No. 2 Tahun 2004 ini adalah menjamin penyelesaian perselisihan industrial menjadi adil, cepat, dan murah. Dengan berlakunya UU No. 2 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja pada Perusahaaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi. Ini berarti UU No. 2 Tahun 2004 menghapus sistem penyelesaian perselisihan melalui P4P/D (Panitia Perselisihan Perselisihan Perburuhan Pusat/Daerah). Hal ini diputuskan karena sistem P4P/D dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil, dan murah. Selain itu pemberlakuan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1957 dirasakan tidak lagi dapat menampung perkembangan masyarakat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang disebabkan oleh (Simanihuruk, 2005: 2):
1. Penyelesaian perselisihan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah belum diatur dalam ketentuan tersebut;
2. Hak-hak pekerja/buruh secara perorangan ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak dapat diakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial;
3. Tidak mengatur perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan;
4. Tidak menjamin rasa keadilan bagi pekerja/buruh dan pengusaha karena penyelesaian perselisihan yang ditawarkan hanya melalui jalur non litigasi;
5. Terkesan kuatnya campur tangan Pemerintah, dalam hal :
a. Veto Menteri
3
Adanya kewenangan Menteri untuk menunda atau membatalkan putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) melalui hak veto berdampak pada terbentuknya paradigma masyarakat tentang besarnya campur tangan pemerintah yang seharusnya dikurangi;
b. Hanya ada pegawai perantara di Bagian
Hubungan Industrial dan Syarat-Syarat Kerja yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil (tidak memberikan alternatif pilihan penyelesaian melalui konsiliasi dan arbitrase);
6. Keanggotaan Panitia Perselisihan-perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Perselisihan-perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) diangkat tanpa seleksi yang menimbulkan asumsi bahwa lembaga P4D dan P4P tidak independen.

Perselisihan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkup peradilan umum atau biasa disebut Pengadilan Negeri (Pasal 55 UU No 2 Tahun 2004). Pengertian pengadilan khusus di sini bukan hanya dari objek perkara yang berupa sengketa perburuhan dalam hubungan perburuhan, tetapi juga dari segi susunan majelis hakim yang terdiri atas hakim biasa (karir) dan hakim ad hoc (ahli), cara-cara beracara khusus, seperti tidak adanya upaya hukum banding dan penjadwalan waktu penyelesaian perkara yang terbatas.
Selengkapnya
Disusun oleh : Dede Nurdin, dkk.

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home