Friday, January 13, 2017

PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI DAN AKIBAT HUKUMNYA

Demo Pembubaran Parpol. Sumber: Google
Partai politik merupakan cermin kebebasan berserikat (freedom of association) dan berkumpul (freedom of assembly) sebagai wujud adanya kemerdekaan berfikir (freedom of thought) serta kebebasan berekspresi (freedom of expression). Oleh karena itu kebebasan berserikat dalam bentuk partai politik sangat dilindungi melalui konstitusi dalam negara demokrasi konstitusional.

Meskipun demikian, kebebasan berserikat memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan negara, untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk melindungi hak dan kebebasan lain.

Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara ketat bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; harus dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis; dan harus benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial.

Sebagai bentuk pelaksanaan dari demokrasi konstitusional inilah, sejak lahirnya era reformasi Negara Indonensia telah mengatur mengenai pembubaran partai politik dalam Pasal 24C ayat (1) bahwa partai politik dapat dibubarkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final (legally binding). MK dapat membubarkan partai politik yang telah terfadtar dan berstatus sebagai badan hukum dalam Kementerian Hukum dan HAM apabila terbukti dalam persidangan MK melakukan bentuk pelanggaran konstitusional. Beberapa bentuk pelanggaran konstitusional sebagai alasan untuk dapat membubarkan partai politik diatur dalam Unndang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Partai Politik).

Dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa MK dapat membubarkan suatu partai politik yang didasarkan pada alasan dan terbukti bahwa ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan dari partai politik yang bersangkutan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5) Jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik.
Berdasarkan UU Partai Politik bahwa Partai Politik berbentuk badan hukum (rechtspersoon) melalui proses pendaftaran dan pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM RI, sehingga dalam lalu lintas hubungan hukum privat dan perbuatan hukum publik sama dengan subjek hukum manusia (natuurlijkepersoon) yang mengemban hak dan kewajiban. Jika manusia dapat digugat dan/atau dituntut di pengadilan maupun di luar pengadilan, maka badan hukumpun juga demikian. Dengan mendasari pada konsep hukum perdata inilah, maka pembubaran partai politik melalui putusan MK bukan hanya berakibat hukum pada ketidakikutan partai politik tersebut sebagai peserta Pemilihan Umum, tetapi lebih jauh lagi adalah pembatalan terhadap status badan hukum partai politik tersebut dan harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Kementerian Hukum dan HAM RI.

Pembatalan atas status badan hukum partai politik tersebut berakibat hukum bahwa partai politik tersebut tidak lagi bisa melakukan atau melanjutkan beberapa tindakan hukum dan hubungan hukum yang telah dilakukan baik yang bersifat public maupun yang bersifat privat. Tindakan hukum yang bersifat publik misalnya bahwa partai politik yang telah dibubarkan tersebut tidak bisa lagi mencalonkan anggotanya untuk duduk di lembaga DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pertanyaan yang sangat mendasar adalah bagaimana dengan partai politik yang telah dibubarkan dan anggotanya telah terpilih dan duduk di kursi DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah? Apakah mereka tetap sah untuk tetap duduk di lembaga Negara tersebut, mengingat mereka dicalonkan oleh Partai politik yang telah dibubarkan atau “mati”. Sedangkan tindakan hukum partai politik yang bersifat privat misalnya adanya berbagai perjanjian maupun kontrak maupun jual beli yang dilakukan oleh partai politik tersebut atau adanya kewajiban partai politik tersebut untuk membayar utang pajaknya.
Beberapa akibat hukum yang sangat mendasar ini tidak diatur secara jelas di dalam UU MK maupun UU Partai Politik, sehingga hal ini akan menjadi persoalan hukum yang akan menimbulkan beberapa persoalan hukum baru yang lebih banyak.
Disusun oleh : Dede Nurdin, dkk.

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home