Sunday, January 15, 2017

ANALISIS PERBANDINGAN PERUBAHAN ANTARA UU NO. 14 TAHUN 1985, UU NO. 5 TAHUN 2004, DAN UU NO. 3 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH AGUNG KAITANNYA DENGAN PTUN


Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib, bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.

Mahkamah Agung adalah sebuah lembaga Negara yang berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Mahkamah Agung ini sudah dijalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan Yuridis dimaksudkan, yang menjadi dasar hukum yakni UU No. 14 Tahun 1985, UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung.

Dapat dipahami bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu badan atau lembaga negara yang memegang tugas pelaksanaan kekuasaan kehakiman, di samping badan kehakiman lain yang juga menjadi pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu badan peradilan khusus yang berada di bawah MA, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 9 Tahun 2004, dan UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Menarik kiranya untuk menelusuri jejak sumber serta kriteria kekuasaan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi di negara ini kaitannya dengan PTUN setelah adanya perubahan UU No. 14 Tahun1985 Tentang Mahakamah Agung menjadi UU No. 5 Tahun 2004 juncto UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Disusun oleh Dede Nurdin, dkk.

Labels: , , ,

Saturday, January 14, 2017

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP DINAMIKA PENEMPATAN TENAGA KERJA LOKAL BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN DALAM BINGKAI HAK ASASI MANUSIA

Di satu sisi pengaturan terhadap kebebasan setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan merupakan landasan fundamental (fundamental grondslag) sebagai hak dasar (basic rights) warga negara di Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab X Warga Negara dan Penduduk Pasal 27 ayat (2) dan Bab XA Hak Asasi Manusia Pasal 28D ayat (2) dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 38, Pasal 49 dan Pasal 64. Di sisi lain dalam kerangka desentralisasi, Kabupaten Karawang sebagai Pemerintahan Daerah memiliki kewenangan untuk membentuk Peraturan Daerah guna melaksanakan sistem pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Kemudian setidaknya Kabupaten Karawang merupakan daerah yang memiliki Upah Minimum Kabupaten tertinggi di Republik Indonesia serta merupakan kawasan industri terbesar di wilayah Asia Tenggara. Kabupaten Karawang memiliki Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang merupakan dasar hukum dari penyelenggaraan ketenagakerjaan khususnya Penempatan Tenaga Kerja Lokal dengan rasio 60% dan Tenaga Kerja Non-Lokal dengan rasio 40% pada setiap Perusahaan di wilayah Kabupaten Karawang yang telah menimbulkan dinamika pengaturan baik dari segi hak asasi manusia maupun dari segi pelaksanaan ketentuan tersebut.

Penelitian ini akan menguraikan berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia bagi para tenaga kerja khususnya dalam penerapan penempatan Tenaga Kerja Lokal di Kabupaten Karawang. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan yang digunakan yaitu analisis perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan dan target penelitian dapat memberikan argumentasi secara lebih terdeskripsi untuk menjelaskan mengenai dinamika penempatan Tenaga Kerja Lokal dalam bingkai Hak Asasi Manusia apakah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau apakah ketentuan penempatan Tenaga Kerja Lokal dapat dilaksanakan secara optimal.




  1. Disusun oleh Dede Nurdin, Jihan Khairunnisa, dkk. Dibimbing oleh Bapak Pamungkas Satya Putra, S.H., M.H.

Labels: , , , ,

Friday, January 13, 2017

PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI DAN AKIBAT HUKUMNYA

Demo Pembubaran Parpol. Sumber: Google
Partai politik merupakan cermin kebebasan berserikat (freedom of association) dan berkumpul (freedom of assembly) sebagai wujud adanya kemerdekaan berfikir (freedom of thought) serta kebebasan berekspresi (freedom of expression). Oleh karena itu kebebasan berserikat dalam bentuk partai politik sangat dilindungi melalui konstitusi dalam negara demokrasi konstitusional.

Meskipun demikian, kebebasan berserikat memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan negara, untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk melindungi hak dan kebebasan lain.

Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara ketat bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; harus dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis; dan harus benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial.

Sebagai bentuk pelaksanaan dari demokrasi konstitusional inilah, sejak lahirnya era reformasi Negara Indonensia telah mengatur mengenai pembubaran partai politik dalam Pasal 24C ayat (1) bahwa partai politik dapat dibubarkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final (legally binding). MK dapat membubarkan partai politik yang telah terfadtar dan berstatus sebagai badan hukum dalam Kementerian Hukum dan HAM apabila terbukti dalam persidangan MK melakukan bentuk pelanggaran konstitusional. Beberapa bentuk pelanggaran konstitusional sebagai alasan untuk dapat membubarkan partai politik diatur dalam Unndang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Partai Politik).

Dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa MK dapat membubarkan suatu partai politik yang didasarkan pada alasan dan terbukti bahwa ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan dari partai politik yang bersangkutan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5) Jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik.
Berdasarkan UU Partai Politik bahwa Partai Politik berbentuk badan hukum (rechtspersoon) melalui proses pendaftaran dan pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM RI, sehingga dalam lalu lintas hubungan hukum privat dan perbuatan hukum publik sama dengan subjek hukum manusia (natuurlijkepersoon) yang mengemban hak dan kewajiban. Jika manusia dapat digugat dan/atau dituntut di pengadilan maupun di luar pengadilan, maka badan hukumpun juga demikian. Dengan mendasari pada konsep hukum perdata inilah, maka pembubaran partai politik melalui putusan MK bukan hanya berakibat hukum pada ketidakikutan partai politik tersebut sebagai peserta Pemilihan Umum, tetapi lebih jauh lagi adalah pembatalan terhadap status badan hukum partai politik tersebut dan harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Kementerian Hukum dan HAM RI.

Pembatalan atas status badan hukum partai politik tersebut berakibat hukum bahwa partai politik tersebut tidak lagi bisa melakukan atau melanjutkan beberapa tindakan hukum dan hubungan hukum yang telah dilakukan baik yang bersifat public maupun yang bersifat privat. Tindakan hukum yang bersifat publik misalnya bahwa partai politik yang telah dibubarkan tersebut tidak bisa lagi mencalonkan anggotanya untuk duduk di lembaga DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pertanyaan yang sangat mendasar adalah bagaimana dengan partai politik yang telah dibubarkan dan anggotanya telah terpilih dan duduk di kursi DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah? Apakah mereka tetap sah untuk tetap duduk di lembaga Negara tersebut, mengingat mereka dicalonkan oleh Partai politik yang telah dibubarkan atau “mati”. Sedangkan tindakan hukum partai politik yang bersifat privat misalnya adanya berbagai perjanjian maupun kontrak maupun jual beli yang dilakukan oleh partai politik tersebut atau adanya kewajiban partai politik tersebut untuk membayar utang pajaknya.
Beberapa akibat hukum yang sangat mendasar ini tidak diatur secara jelas di dalam UU MK maupun UU Partai Politik, sehingga hal ini akan menjadi persoalan hukum yang akan menimbulkan beberapa persoalan hukum baru yang lebih banyak.
Disusun oleh : Dede Nurdin, dkk.

Labels: , ,

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA


Sistem hukum perburuhan atau hukum ketenagakerjaan yang berkembang dari industrialisasi di Eropa abad ke-19, yang kemudian diadopsi oleh negara- negara lain di dunia, pada dasarnya merupakan sebuah upaya untuk memecahkan konflik antara majikan atau pengusaha dan buruh atau tenaga kerja ke dalam suatu sistem rasional legal. Teori-teori hukum positivis menekankan peran yang netral dari aturanaturan dalam memelihara kepentingankepentingan dari semua kelompok ke dalam apa yang didefinisikan sebagai “aturan-aturan permainan” (rules of the game). Sementara itu, institusi pengadilan dengan para hakimnya dipandang sebagai wasit atau pengawas dan petugas yang bertugas untuk mengimplementasikan aturanaturan permainan tersebut.

Peraturan perundangan yang berkaitan dengan proses penyelesaian perburuhan yang pernah diberlakukan di Indonesia adalah melalui Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang penyelesaian perburuhan melalui perantaraan. Undang-undang itu memberikan putusan yang berupa anjuran kepada pihak-pihak yang berselisih. Jika usaha Menteri Perburuhan itu tidak berhasil, maka perselisihan diserahkan kembali kepada panitia pusat. Cara penyelesaian perselisihan perburuhan menurut UU No. 22 Tahun 1957 yang berpegang pada asas musyawarah untuk mufakat berpijak pada tahap pertama: bila terjadi perselisihan, penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak yang berselisih. Demikian juga UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Perusahaan Swasta serta berbagai peraturan perundang-undangan lainnya menghendaki penyelesaian perselisihan perburuhan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat sehingga tercapai perdamaian antara tenaga kerja dan pengusaha. Dalam hal tidak dicapainya perdamaian antara pihak yang berselisih setelah dicari upaya penyelesaian para pihak, baru diusahakan penyelesaiannya oleh Badan Penyelesaian Perburuhan (BPP).

Di Indonesia, keberadaan pengadilan perburuhan yang dikenal dengan Undang- Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI) telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 16 Desember 2003. Tepat sebulan kemudian, tanggal 14 Januari 2004, UU Perselisihan Hubungan Industrial diundangkan oleh Presiden menjadi UU No. 2 Tahun 2004, dan berlaku secara efektif setahun kemudian. Jiwa Undang-Undang Perselisihan Hubungan Industrial No. 2 Tahun 2004 ini adalah menjamin penyelesaian perselisihan industrial menjadi adil, cepat, dan murah. Dengan berlakunya UU No. 2 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja pada Perusahaaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi. Ini berarti UU No. 2 Tahun 2004 menghapus sistem penyelesaian perselisihan melalui P4P/D (Panitia Perselisihan Perselisihan Perburuhan Pusat/Daerah). Hal ini diputuskan karena sistem P4P/D dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat, tepat, adil, dan murah. Selain itu pemberlakuan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1957 dirasakan tidak lagi dapat menampung perkembangan masyarakat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang disebabkan oleh (Simanihuruk, 2005: 2):
1. Penyelesaian perselisihan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah belum diatur dalam ketentuan tersebut;
2. Hak-hak pekerja/buruh secara perorangan ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak dapat diakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial;
3. Tidak mengatur perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan;
4. Tidak menjamin rasa keadilan bagi pekerja/buruh dan pengusaha karena penyelesaian perselisihan yang ditawarkan hanya melalui jalur non litigasi;
5. Terkesan kuatnya campur tangan Pemerintah, dalam hal :
a. Veto Menteri
3
Adanya kewenangan Menteri untuk menunda atau membatalkan putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) melalui hak veto berdampak pada terbentuknya paradigma masyarakat tentang besarnya campur tangan pemerintah yang seharusnya dikurangi;
b. Hanya ada pegawai perantara di Bagian
Hubungan Industrial dan Syarat-Syarat Kerja yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil (tidak memberikan alternatif pilihan penyelesaian melalui konsiliasi dan arbitrase);
6. Keanggotaan Panitia Perselisihan-perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Perselisihan-perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) diangkat tanpa seleksi yang menimbulkan asumsi bahwa lembaga P4D dan P4P tidak independen.

Perselisihan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkup peradilan umum atau biasa disebut Pengadilan Negeri (Pasal 55 UU No 2 Tahun 2004). Pengertian pengadilan khusus di sini bukan hanya dari objek perkara yang berupa sengketa perburuhan dalam hubungan perburuhan, tetapi juga dari segi susunan majelis hakim yang terdiri atas hakim biasa (karir) dan hakim ad hoc (ahli), cara-cara beracara khusus, seperti tidak adanya upaya hukum banding dan penjadwalan waktu penyelesaian perkara yang terbatas.
Selengkapnya
Disusun oleh : Dede Nurdin, dkk.

Labels: , ,

PENGARUH PRIVATISASI TERHADAP KINERJA PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, TBK.


Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. adalah perusahaan informasi dan komunikasi serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi secara lengkap di Indonesia. 

Kebijakan untuk melakukan privatisasi pada TELKOM terjadi pada tahun 2002, privatisasi dipandang sebagai langkah untuk mengurangi intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi yang seharusnya dilaksanakan oleh sector swasta. Privatisasi diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan efisiensi perusahaan yang selanjutnya mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui pengertian, tujuan dan metode dilakukannya privatisasi, serta untuk mengetahui alasan-alasan yang mendukung dilakukannya privatisasi.
Selengkapnya
Disusun oleh : Dede Nurdin, dkk.

Labels: , ,

PERANAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN KARAWANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH


Untuk membangun lingkungan perkotaan yang sesuai dengan keinginan, perlu pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan Undang-undang RI No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Menurut Pasal 28 Ayat 1 Undang-undang RI No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang berbunyi “masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.” itu artinya bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah sangat dibutuhkan demi terwujudnya lingkungan yang baik sehat, bersih dan rapi.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi peningkatan pengeloaan sampah di Kabupaten Karawang, dan untuk mengetahui dan memahami peranan masyarakat dalam pengelolaan sampah di Kabupaten Karawang ditinjau dari UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Selengkapnya

disusun oleh : Dede Nurdin, Jamaludin, Jihan Khairunnisa, dan Anggun Firgina Dwi Aulia.

Labels: , ,